.:Einstein di Surga atau Neraka?:.

Jumat, 09 Januari 2009

Pertengahan bulan November 2005 silam, bertepatan dengan pencanangan Tahun Fisika Internasional dan peringatan 100 tahun munculnya Teori Fotoelektrik Einstein (E = m.c^2) yang ditetapkan UNESCO (United Nations Education, Science, and Culture Organization), serta menyambut Tahun Ilmu Pengetahuan Internasional 2006, LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) mengundang salah satu dari tiga orang pemenang nobel Fisika tahun 1996: Douglas Dean Osheroff, untuk berceramah dan berdialog dengan para ilmuwan fisika di Indonesia. Seorang profesor fisika dan fisika terapan di Stanford University yang “tidak sengaja” bersama dua koleganya pada tahun 1972 mendapati bahwa satu dari dua isotop helium, yakni helium-3, dapat dijadikan supercair (superfluiditas) pada suhu hanya sekitar dua per seribu di atas nol mutlak.

Pada perkembangan selanjutnya, Osheroff tercatat sebagai penggagas utama teknologi kriogenik. Kriogenik adalah fisika terapan kontemporer yang termasuk jajaran teknologi paling sophisticated abad ini. Memanfaatkan cara pendinginan di bawah suhu nol derajat celcius, kriogenik telah mengantar manusia pada kemampuan-kemampuan luar biasa, seperti misalnya menangkap cahaya—cahaya yang memiliki kecepatan luar biasa itu (3x10^8 m/detik), dapat diperlambat pergerakannya lewat mekanisme pendinginan kriogenik, lalu ditangkap ('diawetkan') dalam sebuah wadah—, menciptakan “bank sperma”, juga aplikasi teknologi kriogenik pada proses pencairan gas alam (LNG). Teknologi kriogenik juga sangat diperlukan untuk menghasilkan hidrogen cair yang digunakan untuk fuel-cell, salah satu calon sumber energi alternatif unggulan masa depan pengganti bahan bakar fosil, yang sedang dirintis oleh beberapa lembaga riset di negeri ini.

Saat itu, saya berdiskusi dengan seorang karib yang kebetulan menghadiri langsung ceramah sang Nobelist. Tentu tidak hanya membahas tentang hasil kerja kerasnya di laboratorium semata. Juga tentang fakta bahwa ternyata di usianya yang ke-60 saat itu, pada sosok ilmuwan kelahiran Aberdeen, Washington, berdarah Rusia dan Slovakia keturunan Yahudi itu tidak pernah terlintas di pikirannya untuk memiliki anak.

“Tidak. Tidak memiliki anak membuat orang tetap muda karena memiliki anak membuat orang harus bertanggung jawab. Padahal saya sering kali harus berada di laboratorium sampai dini hari. Begitu juga istri saya—Phyllis Liu, ilmuwan biokimia, yang harus bepergian ke berbagai kota di Amerika sampai berhari-hari. Saya rasa kalau kami jadi orang tua, istri saya akan menjadi ibu yang sangat disiplin, sedangkan saya jadi bapak yang terlalu memanjakan.”

Begitu alasannya untuk menjawab pertanyaan, “Apakah Anda memiliki anak?” yang dilontarkan oleh tim pewawancara dari sebuah surat kabar nasional.

Diskusi kami merembet ke fisikawan lain. Yaitu ilmuwan nyentrik, yg lagi-lagi juga seorang Yahudi, Albert Einstein. Pendiri Universitas Hebrew, Jerusalem, dengan teori-teori ilmiahnya di bidang fisika teoretis yang sangat fenomenal hingga salah satunya mengantarkannya meraih nobel Fisika 1921 untuk penyelidikannya tentang hukum efek fotoelektris.

Dan di akhir diskusi kami, saya melontarkan sebuah pertanyaan usil tentang ilmuwan yang mempunyai tiga kewarganegaraan (Swiss, Jerman, dan Amerika) dan juga menulis karya non-sains berjudul “About Zionis”, 1930 ini.

“Banyak fisikawan men-Tuhan-kan Einstein karena jasa-jasanya. Ia di surga atau di neraka?” tanya saya waktu itu.

Tidak sampai lima menit, karib saya itu menjawab diplomatis dengan mengutip pendapat beberapa pakar muslim. “Surga atau neraka adalah otoritas Allah. Teori Einstein (Special Theory of Relativity, 1905) bisa menjelaskan relativitas waktu perjalanan Nabi (pada peristiwa Isra’ dan Mi’raj) dengan buroq. Ilmu modern secara akal bisa diterima dan membenarkan Al-Quran.”

Saya hanya diam dan coba memaknai apa yang diutarakannya barusan, tanpa berniat untuk mendebatnya. Dan diskusi kami berakhir sampai di situ.

Pekan lalu di forum liqo’at—ngaji dalam sebuah kelompok kecil 3-5 orang, saat membahas tentang tiga amalan yang akan terus mengalirkan pahala bagi pelakunya, pertanyaan senada dengan redaksi yang berbeda kembali mencuat dari bibir saya. Dengan definisi ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang secara aplikatif berguna bagi umat manusia dan membawa perubahan-perubahan ke arah positif dan kebaikan. Saya mengambil contoh sosok yang lebih mudah untuk dibayangkan berkaitan dengan hasil penemuannya yang sangat bermanfaat bagi umat manusia dewasa ini.

Thomas Alva Edison, si penemu bola pijar. Bagaimana wajah dunia saat ini, terutama di malam hari, jika saja bola lampu tidak “diciptakan” olehnya? Atau si raja Microsoft, Bill Gate. Masihkan mesin ketik manual akan kita pakai hingga hari ini jika sofware office paling familiar itu tidak dirancangnya? Juga jaringan nirkabel yang bisa menghubungkan tempat-tempat di ujung dunia tanpa ada eliminasi waktu sedikit pun.

“Coba buka surat Ibrahim [14] ayat 18,” jawab murobbi kami kalem.

Perumpamaan orang yang ingkar kepada Tuhannya, perbuatan mereka ibarat abu yang ditiup oleh angin keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak kuasa (mendatangkan manfaat) sama sekali dari apa yang telah mereka usahakan di dunia. Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh.

Subhanallah wa alhamdulillah wa laa ilaaha illallahu Allahu akbar! Tiba-tiba terbersit rasa kasihan diam-diam pada mereka—ilmuwan-ilmuwan jenius yang ingkar kepada Tuhannya (baca: bukan seorang muslim), yang menyelusup di sanubari saya membaca “vonis” di atas. Namun juga tak bisa digambarkan betapa bersyukurnya ketika menyadari diri ini termasuk orang-orang yang dapat merasakan indahnya hidayah Islam, yang ternyata begitu mahal eksistensinya. Ya, sekarang saya bisa menjawab dengan mantap pertanyaan pada karib saya dua tahun silam itu.

Ya Tuhan kami, janganlah Engkau condongkan hati kami kepada kesesatan setelah Engkau berikan petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Pemberi. (Ali ‘Imran [2] : 8)

Allahu ’alam bish-showab.


Read More…

0 komentar: